October 2, 2007
Budak Abad 21 /1:32 PM

Sore itu aku abis pulang dari kuliah, tepatnya pukul 17.oo waktu singapura. Setelah sholat Ashar, Chatting kira-kira 20 menit, aku turun ke lantai satu gedung apartementku untuk masak buat Buka puasa. Seperti biasanya aku turun dengan membawa cucian gelas dan piring kotor bekas sahur tadi pagi. Setelah sampai ke wilayah dapur, aku bertemu si mbok Inem yang biasanya selalu menolongku dan memberi aku makanan walaupun di tempat kostku itu gak ada yang namanya paket sewa kamar plus makan. Dia adalah wanita paruh baya berumur sekitar 50 tahunan yang telah mengabdikan dirinya untuk bekerja sebagai TKW di Singapura dari tahun 1980an sampe sekarang tahun 2007. Di waktu saat dia memutuskan untuk bekerja sebagai TKW, dia telah punya 3 anak lelaki kecil-kecil yang sebenarnya butuh kasih sayang penuh setiap harinya dari seorang ibu, tetapi demi sesuap nasi dia rela untuk pergi meninggalkan anaknya, toh dia pergi untuk mencari uang demi sekolah dan makan anaknya sehari-hari.
Tak seperti biasanya, yang di dapur hanyalah mbok Inem saja, ada seorang wanita yang saya tidak kenal, sekitar umur 30 tahunan yang berdiri dekat pintu dapur sedang berbicara dengan mbok Inem. Wanita itu tampak agak pucat, dan agak capek, mau tak mau aku pun mendengarkan pembicaraan mereka, karna aku berada dalam satu ruangan dengan mereka, dan aku pun mendengarkan pembicaraan mereka.
Wanita 30 tahun : "iya bu, Tuan A (saya rasa majikan dia) hampir tiap hari nyuruh saya untuk ngantri di kantor post, dan dia seenak hatinya saja menyuruh saya seperti itu, padahal saya setiap hari punya banyak tugas yang seabrek seperti mencuci, menyetrika, mengasuh anak-anak, memasak, mencuci mobil, dan banyak pekerjaan yang kasar lainnya."
Mbok Inem : "iya, apalagi aku Nah, tiap hari selama 20 tahunan lebih, aku bekerja juga pernah disuruh sama Nyonya buat ke kantor post atau gak bank untuk ngantri bayar ini itu lah, dan aku pernah sampai seharian mengantrinya."
Mungkin pembicaraan dan keluhan-keluhan semacam itu sudah biasa terdengar di telinga saya yang tiap hari berbicara, nonton TV bareng mereka si mbok Inem dan mbak Asih, yang dua-duanya bekerja sebagai "pembantu" di rumah itu. Dari pembicaraan mereka, saya tahu sekali bahwa mereka sebenernya tidak suka ato merasa derajatnya direndahkan dengan sebutan sebagai "pembantu", mereka lebih suka dipanggil sebagai "orang kerja" dan saya pun dari dulu tidak suka yang namanya orang direndahkan derajatnya karena dia pembantu. Definisi pembantu disini adalah orang yang membantu pekerjaan rumah tangga, tapi kenapa sekarang ini artinya agak berubah dari arti sebenarnya, dan lebih condong ke arti budak/slave di abad 21 ini, daripada orang yang membantu.
Realita para TKI dan TKW di Indonesia sungguh ironis sekali, mereka bekerja tak kenal waktu dan lelah demi uang yang tidak terlalu besar. Mereka rela mengorbankan waktu mereka dengan keluarga tercinta dan menjadi pahlawan devisa demi negara kita yang konon kaya akan hasil bumi dan kekayaan alamnya. Saya juga punya sahabat dekat semasa SMA, yang sekarang menjadi TKI di Serawak Malaysia, sekitar sebulan yang lalu dia menelefon saya dari Malaysia. Dia mengaku kepada saya, dia sekarang bekerja di kapal export- import di Serawak Malaysia dan dia juga mengaku kalau dia cuma diberi waktu buat istirahat maximal 8 jam sehari setiap hari, dan 8 jam itu sudah termasuk semuanya mulai dari makan, mandi, ngerokok atopun kegiatan diluar kerja, sisanya 16 jam dia harus bekerja kasar di kapal itu.
Memang saya akui mereka para TKI dan TKW bekerja di luar negeri karna motif untuk mendapatkan gaji lebih banyak dibandingkan di dalam negeri tanpa harus mengeyam pendidikan formal yang lebih tinggi. Tetapi para orang yang memperkerjakan para TKI dan TKW itu seharusnya sadar bahwa mereka manusia juga yang butuh cukup waktu untuk hiburan, cukup tidur, makan cukup, jalan-jalan,refreshing dan juga bersembahyang dan bukan untuk disiksa, diperkosa, dan diberi jam kerja yang lebih dari jam kerja yang normal. Semoga saja perbudakan di abad 21 ini dapat dihilangkan dan sedikit demi sedikit orang sadar bahwa kita semua sama derajatnya walaupun kita beda bangsa, suku, agama, ras, dan warna kulit.
Labels: Kejamnya Kehidupan, Makna Kehidupan
1 had their say | have yours?